(Bank merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang keuangan, artinya aktivitas perbankan selalu berkaitan dalam bidang keuangan.
Sekilas sejarah ringkas perbankan di Indonesia
Periode I : Jaminan penjajahan Belanda sampai kependudukan Jepang. Banyak beroperasinya bank-bank milik Belanda (De Java Bank, De Nederlandsche Handel Maatschappij, De Nationale Handelsbank dan Escompto Bank) dan bank-bank lain yang berasal dari Inggris, Australia dan Cina. Namun ada juga bank milik pribumi yaitu Bank Desa, Lumbung Desa dan Alegemene Volkscredietbank AVB).
Periode II : Pada tahun pertama pendududkan Jepang, kantor-kantor bank ditutup. Pada tanggal 20 Oktober 1942 semua bank Belanda, Inggris dilikwidasi namun AVB tidak dilikwidasi.
Periode III : Dibukanya Bank Industri Negara yang bergerak di bidang pembelanjaan pembangunan khususnya industri dan pertambangan.
Periode IV : Merupakan periode orde baru, dimana perekonomian terpimpin diganti menjadi perekonomian yang lebih demokratis. Bank-bank pemerintah pun dikembalikan menjadi bank umum dengan tugas khusus.
Sekilas sejarah ringkas perbankan di Indonesia
Periode I : Jaminan penjajahan Belanda sampai kependudukan Jepang. Banyak beroperasinya bank-bank milik Belanda (De Java Bank, De Nederlandsche Handel Maatschappij, De Nationale Handelsbank dan Escompto Bank) dan bank-bank lain yang berasal dari Inggris, Australia dan Cina. Namun ada juga bank milik pribumi yaitu Bank Desa, Lumbung Desa dan Alegemene Volkscredietbank AVB).
Periode II : Pada tahun pertama pendududkan Jepang, kantor-kantor bank ditutup. Pada tanggal 20 Oktober 1942 semua bank Belanda, Inggris dilikwidasi namun AVB tidak dilikwidasi.
Periode III : Dibukanya Bank Industri Negara yang bergerak di bidang pembelanjaan pembangunan khususnya industri dan pertambangan.
Periode IV : Merupakan periode orde baru, dimana perekonomian terpimpin diganti menjadi perekonomian yang lebih demokratis. Bank-bank pemerintah pun dikembalikan menjadi bank umum dengan tugas khusus.
Periode V : Merupakan periode reformasi. Terjadi setelah jatuhnya pemerintahan rezim alm.Soeharto yang disusul dengan krisis moneter dan berbagai peristiwa lain yang sempat membuat kisruh dunia perbankan Indonesia karena meningkatnya suku bunga yang mencapai 41,29%.
Gejolak nilai tukar merupakan awal mula munculnya BLBI, hal ini juga yang membuat tidak stabilnya kondisi perbankan Indonesia. Pergantian pemimpin di Indonesia nampaknya tidak juga membuahkan hasil yang maksimal terhadap kondisi perbankan di Indonesia yang menyebabkan krisis kepercayaan terhadap bank-bank di Indonesia.
Awal Juli 1997, terjadi gejolak nilai tukar. Bersamaan dengan itu, pemerintah melakukan pengetatan likuiditas. Kondisi ini memunculkan krisis kepercayaan masyarakat terhadap perbankan nasional, terutama pasca pencabutan ijin usaha 16 bank pada tanggal 1 November 1997. Hal ini berdampak sangat buruk, terutama memicu terjadinya depresiasi kepercayaan terhadap perbankan. Sebagai manifestasi krisis kepercayaan itu, terjadi penarikan dana secara besarbesaran. Akibatnya, banyak bank yang mengalami kesulitan likuiditas yang sangat
parah (mismatch) yang disusul dengan kelangkaan likuiditas perekonomian secara keseluruhan (liquidity crunch). Keadaan semakin diperparah dengan melambungnya suku bunga Pasar Uang Antar Bank (PUAB) hingga mencapai 300% per tahun. Keputusan likuidasi 16 bank pada tanggal 1 November 1997 dianggap sebagai pemicu krisis kepercayaan yang berlanjut dengan terpuruknya sektor perbankan. Sebenarnya, tindakan likuidasi itu diambil untuk mencegah semakin meluasnya krisis perbankan (systemic risk) dan besarnya risiko yang ditanggung masyarakat (economic cost). Selain itu, keputusan likuidasi itu juga merupakan hasil evaluasi dan rekomendasi IMF yang dituangkan ke dalam Letter of Intent (LoI) antara pemerintah dengan IMF pada tanggal 31 Oktober 1997. Kesepakatan dengan IMF ini yang juga merupakan tahapan awal pelaksanaan reformasi ekonomi dan perbankan yang tertuang dalam Memorandum of Economic and Financial Policies yang ditandatangani pada awal November 1997. Program reformasi tersebut juga telah mendapat dukungan teknis dan keuangan dari Bank
Dunia, Bank Pembangunan Asia, dan negara-negara sahabat lainnya. Namun, upaya yang semula dimaksudkan untuk memulihkan kepercayaan kepada perbankan itu ternyata oleh masyarakat ditanggapi secara negatif. Masyarakat melakukan penarikan dan pengalihan dana secara besar-besaran (bank run), sehingga sejumlah bank mengalami mismatch dan terus mengalami saldo negatif (saldo debet) pada gironya di Bank Indonesia. Untuk mencegah terjadinya pembengkakan saldo debet tersebut, pada akhir Desember 1997, dengan persetujuan Presiden, Bank Indonesia (BI) lewat surat Menteri Sekretaris Negara No. R-183/M.Sesneg/12/1997 tanggal 12 Desember 1997menempuh kebijakan mengganti saldo debet bank-bank yang mempunyai harapan sehat dengan Surat Berharga Pasar Uang Khusus (SBPUK). Hal ini dilakukan agar pada akhir tahun 1997 tidak ada lagi bank yang terpaksa ditutup dan dinyatakan bangkrut. Memasuki bulan Januari 1998, dampak krisis, terutama yang menyangkut sektor perbankan, ternyata semakin meluas. Saldo debet bank-bank di BI terus berlanjut. Untuk mencegah kehancuran sistem perbankan akibat krisis kepercayaan tersebut, pemerintah menempuh program stabilisasi dan reformasi menyeluruh. Langkah ini diambil juga untuk menjaga sistem pembayaran nasional dari kelumpuhan yang berakibat buruk pada seluruh kegiatan perekonomian dan untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat. Pada tanggal 15 Januari 1998, program stabilisasi yang mencakup restrukturisasi sektor keuangan dan sektor riil itu ditandatangi pemerintah dengan IMF dalam LoI.
parah (mismatch) yang disusul dengan kelangkaan likuiditas perekonomian secara keseluruhan (liquidity crunch). Keadaan semakin diperparah dengan melambungnya suku bunga Pasar Uang Antar Bank (PUAB) hingga mencapai 300% per tahun. Keputusan likuidasi 16 bank pada tanggal 1 November 1997 dianggap sebagai pemicu krisis kepercayaan yang berlanjut dengan terpuruknya sektor perbankan. Sebenarnya, tindakan likuidasi itu diambil untuk mencegah semakin meluasnya krisis perbankan (systemic risk) dan besarnya risiko yang ditanggung masyarakat (economic cost). Selain itu, keputusan likuidasi itu juga merupakan hasil evaluasi dan rekomendasi IMF yang dituangkan ke dalam Letter of Intent (LoI) antara pemerintah dengan IMF pada tanggal 31 Oktober 1997. Kesepakatan dengan IMF ini yang juga merupakan tahapan awal pelaksanaan reformasi ekonomi dan perbankan yang tertuang dalam Memorandum of Economic and Financial Policies yang ditandatangani pada awal November 1997. Program reformasi tersebut juga telah mendapat dukungan teknis dan keuangan dari Bank
Dunia, Bank Pembangunan Asia, dan negara-negara sahabat lainnya. Namun, upaya yang semula dimaksudkan untuk memulihkan kepercayaan kepada perbankan itu ternyata oleh masyarakat ditanggapi secara negatif. Masyarakat melakukan penarikan dan pengalihan dana secara besar-besaran (bank run), sehingga sejumlah bank mengalami mismatch dan terus mengalami saldo negatif (saldo debet) pada gironya di Bank Indonesia. Untuk mencegah terjadinya pembengkakan saldo debet tersebut, pada akhir Desember 1997, dengan persetujuan Presiden, Bank Indonesia (BI) lewat surat Menteri Sekretaris Negara No. R-183/M.Sesneg/12/1997 tanggal 12 Desember 1997menempuh kebijakan mengganti saldo debet bank-bank yang mempunyai harapan sehat dengan Surat Berharga Pasar Uang Khusus (SBPUK). Hal ini dilakukan agar pada akhir tahun 1997 tidak ada lagi bank yang terpaksa ditutup dan dinyatakan bangkrut. Memasuki bulan Januari 1998, dampak krisis, terutama yang menyangkut sektor perbankan, ternyata semakin meluas. Saldo debet bank-bank di BI terus berlanjut. Untuk mencegah kehancuran sistem perbankan akibat krisis kepercayaan tersebut, pemerintah menempuh program stabilisasi dan reformasi menyeluruh. Langkah ini diambil juga untuk menjaga sistem pembayaran nasional dari kelumpuhan yang berakibat buruk pada seluruh kegiatan perekonomian dan untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat. Pada tanggal 15 Januari 1998, program stabilisasi yang mencakup restrukturisasi sektor keuangan dan sektor riil itu ditandatangi pemerintah dengan IMF dalam LoI.
Untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan, pada tanggal 26 Januari 1998, pemerintah memutuskan untuk menjamin pembayaran seluruh kewajiban bank, baik kepada deposan maupun kreditur lewat program penjaminan (blanket guarantee). Langkah ini diambil dengan Keputusan Presiden No. 26 Tahun 1998 tentang Program Penjaminan BPR, Fasilitas Dana Talangan untuk Pembayaran Kewajiban Luar Negeri Bank dalam Rangka Trade Finance dan Inter Bank Debt Arrears, serta jaminan Pembiayaan Perdagangan Internasional. Keputusan ini juga sebagai tindak lanjut dari Frankfurt Agreement yang ditandatangani oleh pemerintah pada tanggal 4 Juni 1998. Kebijakan ini dimaksudkan untuk memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan nasional selai diharapkan dapat mendukung stabilisasi nilai tukar. Penjaminan juga diberlakukan bagi nasabah kreditur 16 Bank dalam Likuidasi (BDL), Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU), Bank Take Over (BTO), bank yang masuk program rekapitalisasi, dan bank lain dalam pengawasan BPPN, dengan memenuhi syarat-syarat penjaminan yang telah ditetapkan. Program penjaminan tersebut diterapkan setelah melalui pengkajian yang panjang oleh pemerintah dan konsultasi yang intensif dengan IMF. Dengan mengacu kepada komitmen dan kebijakan itu, pelaksanaan pembayaran penjaminan terhadap nasabah/kreditur sebenarnya merupakan kewajiban pemerintah. Namun, karena adanya kendala kondisi keuangan pemerintah pada waktu itu, BI menyediakan dana
talangan terlebih dahulu. Pada gilirannya, semua pengeluaran akan ditagih oleh Bank Indonesia kepada pemerintah. Kebijakan pemerintah tersebut direalisasikan dalam berbagai bentuk fasilitas BI yang kemudian dikenal dengan istilah "Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)".
Pada awalnya pengadaan dana BLBI memang bertujuan baik, yakni guna pembayaran penjaminan terhadap nasabah/kreditur. Namun, banyaknya penyalahgunaan dana BLBI malah membuat kerugian dipihak nasabah, misalnya pada kasus Bank Century yang membuat para nasabahnya menjadi sangat dirugikan.
BLBI, Membantu Konglomerat Menindas Rakyat
Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) adalah skema bantuan (pinjaman) yang diberikan Bank Indonesia kepada bank-bank yang mengalami masalah likuiditas pada saat terjadinya krisis moneter yang menerpa Indonesia tahun 1998. Skema BLBI ini dilakukan berdasarkan perjanjian Indonesia dengan Dana Moneter Internasional (IMF) dalam mengatasi masalah krisis.
Permasalahan BLBI yang sudah berjalan sekitar sepuluh tahun, sebenarnya tidak pernah surut. Masalahnya timbul-tenggelam. Masalah BLBI ini sedemikian rumit, karena berbaurnya penanganan hukum, ekonomi, dan politik. Nuansa politik dalam penanganan BLBI ini terkadang lebih menonjol ketimbang penyelesaian secara hukum. Jumlah dana BLBI yang disalurkan pada Desember 1998 mencapai Rp 147,7 triliun kepada 48 bank yang bermasalah. Total bank penerima BLBI sebenarnya 164 bank.
Permasalahan BLBI yang sudah berjalan sekitar sepuluh tahun, sebenarnya tidak pernah surut. Masalahnya timbul-tenggelam. Masalah BLBI ini sedemikian rumit, karena berbaurnya penanganan hukum, ekonomi, dan politik. Nuansa politik dalam penanganan BLBI ini terkadang lebih menonjol ketimbang penyelesaian secara hukum. Jumlah dana BLBI yang disalurkan pada Desember 1998 mencapai Rp 147,7 triliun kepada 48 bank yang bermasalah. Total bank penerima BLBI sebenarnya 164 bank.
Sesuai dengan perannya sebagai lender of the last resort, BI dapat memberikan bantuan likuiditas bagi bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas (mismatch). Desember 1996, bantuan likuiditas yang disalurkan oleh Bank Indonesia Rp 371 miliar dan sebulan sebelum krisis (Juni 1997) posisi BLBI sebesar Rp 1,2 triliun. Pada bulan Juli 1997 (awal krisis) posisi BLBI hanya bergerak sedikit menjadi 1,4 triliun. Setelah bulan Juli 1997, posisi BLBI terus mengalami kenaikan apalagi setelah rezim kurs bebas diterapkan Agustus 1997. Waktu itu Presiden Soeharto memberikan arahan agar tidak melikuidasi bank selama periode antara Pemilu 1997 sampai Sidang Umum MPR Maret 1998. Oleh rapat Direksi Bank Indonesia, 15 Agustus 1997, pengarahan presiden itu diterjemahkan dalam bentuk dispensasi terhadap sanksi skorsing kliring bagi bank-bank yang kalah kliring. Keputusan ini diikuti dengan kenaikan penyaluran BLBI sebesar Rp 4 triliun hingga posisinya menjadi Rp 5,2 triliun pada awal September 1997. Oktober 1997, posisi BLBI naik menjadi Rp 8,6 triliun sebagai akibat tindak lanjut Sidang Kabinet Ekkuwasbang. Kebijakan ini memberikan legitimasi kepada Bank Indonesia (yang masih menjadi bagian dari pemerintah) untuk menyalurkan bantuan likuiditas. Sampai di sini, pertumbuhan BLBI selama empat bulan pertama masa krisis tidak menunjukkan lonjakan yang sangat fantastis. Perubahan yang sangat luar biasa terjadi setelah pemerintah melikuidasi 16 bank, 1 November 1997. Posisi BLBI naik menjadi Rp 32 triliun hanya dalam waktu sebulan. Jumlah penerima BLBI pun naik dari 131 menjadi 164 bank. Hingga akhir Desember 1997 posisi BLBI yang disalurkan sudah mencapai Rp 47,1 triliun.
Tanggal 27 Desember 1997 berdasarkan disposisi Presiden Soeharto atas Surat Gubernur BI tanggal 26 Desember 1997, Mensesneg Moerdiono membuat surat No. R-183/M.Sesneg/12/1997 menyetujui pengalihan saldo debet menjadi Surat Berharga Pasar Uang Khusus (SBPUK). Sebelumnya (9 Desember 1997), Direksi Bank Danamon menemui Direksi BI, di mana disetujui SBPUK senilai Rp 6 triliun bagi bank itu. Untuk menyelesaikan krisis yang terjadi, pemerintah Indonesia meminta bantuan IMF. Untuk itu ditandatangani Letter of Intent dengan IMF, 15 Januari 1998. Di sini pemerintah berencana memberikan jaminan atas deposito (blanket guarantee) dan diputuskan melalui Keppres No. 26/1998 tanggal 26 Januari 1998. Akibatnya selama Januari-Februari 1998 jumlah BLBI naik lebih dari dua kali lipat menjadi Rp 103 triliun. Artinya, situasi rush pada Januari dan kebijakan blanket guarantee membuat posisi BLBI melonjak sangat besar.
Tanggal 27 Desember 1997 berdasarkan disposisi Presiden Soeharto atas Surat Gubernur BI tanggal 26 Desember 1997, Mensesneg Moerdiono membuat surat No. R-183/M.Sesneg/12/1997 menyetujui pengalihan saldo debet menjadi Surat Berharga Pasar Uang Khusus (SBPUK). Sebelumnya (9 Desember 1997), Direksi Bank Danamon menemui Direksi BI, di mana disetujui SBPUK senilai Rp 6 triliun bagi bank itu. Untuk menyelesaikan krisis yang terjadi, pemerintah Indonesia meminta bantuan IMF. Untuk itu ditandatangani Letter of Intent dengan IMF, 15 Januari 1998. Di sini pemerintah berencana memberikan jaminan atas deposito (blanket guarantee) dan diputuskan melalui Keppres No. 26/1998 tanggal 26 Januari 1998. Akibatnya selama Januari-Februari 1998 jumlah BLBI naik lebih dari dua kali lipat menjadi Rp 103 triliun. Artinya, situasi rush pada Januari dan kebijakan blanket guarantee membuat posisi BLBI melonjak sangat besar.
Maret 1998, Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) didirikan dan menerima pengalihan 54 bank dari BI. Langkah ini justru diikuti dengan rush lanjutan dalam situasi likuidasi ketat pada April 1998. Selama Maret-April, nilai BLBI melonjak dari Rp 31 triliun menjadi hampir Rp 135 triliun. Selama April-September 1998 saldo negatif bank-bank di bawah BPPN justru terus naik.
Kerusuhan Mei dan runtuhnya Soeharto menyebabkan BCA di-rush sehingga BCA memperoleh BLBI dalam tiga tahap, Mei-Juni dengan total Rp 35 triliun. Selama periode Juni-September 1998, BPPN mengusahakan penyelesaian BLBI melalui MSAA yang kemudian ditandatangani pada 21 September 1998. Kesepakatan akhir yang memuat release and discharge dicapai 9-10 bulan kemudian, yaitu Mei 1999 (dengan BDNI) dan Juni/Juli 1999 (dengan BCA).
Audit yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2000 terhadap penggunaan dana BLBI oleh ke-48 bank tersebut, menyimpulkan telah terjadi indikasi penyimpangan sebesar Rp 138 triliun. Suatu angka yang sangat besar, yang kalau bisa dikembalikan segera, diperkirakan bisa membantu mengatasi persoalan ekonomi Indonesia. Namun, apa yang terjadi? Hingga saat ini, dari potensi kerugian tersebut, pengembaliannya boleh dikatakan masih sangat minim, atau bahkan boleh dikatakan tidak ada jika dibandingkan dengan pengeluaran yang dilakukan pemerintah untuk mengejar para pelakunya.
Selain itu, meskipun pada akhirnya pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang mengambil-alih bank-bank bermasalah, namun penanganannya sangat lambat. Sehingga, kalau dihitung, total pengeluaran BLBI terhadap 164 bank bermasalah mencapai Rp 650 triliun termasuk bunganya, dengan potensi kerugian negara saat ini diperkirakan mencapai Rp 180 sampai Rp 200 triliun. Ini merupakan beban yang ditanggung rakyat melalui APBN, sementara penikmatnya adalah segelintir orang.
Kasus BLBI kembali mencuat, ketika KPK menangkap jaksa Untung dan Artalyta yang diduga melakukan suap untuk mengeluarkan SP3 BLBI Sjamsul Nursalim, pemilik BDNI. Sebelumnya, KPK pun menangkap petinggi BI, termasuk gubernurnya Burhanuddin Abdullah, karena diduga mengeluarkan dana Rp 100 miliar kepada para petinggi dan anggota DPR. Pengeluaran dana kepada petinggi BI itu disebutkan sebagai bantuan dana penyelesaian hukum.
Dana BLBI banyak diselewengkan oleh penerimanya. Sementara itu, yang memberikannya pun terindikasikan melakukan hal-hal yang bertentangan dengan layaknya proses pengeluaran sebuah kredit. Beberapa mantan Direktur BI telah menjadi terpidana kasus penyelewengan dana BLBI, antara lain Paul Sutopo Tjokronegoro, Hendro Budiyanto, dan Heru Supratomo. Mereka sempat mendekam di tahanan Kejaksaan Agung, yang sering kali disebut tahanan Gedung Bundar. Namun, permainan menyelesaikannya sedemikian tinggi, sehingga para pesakitan ini pun akhirnya bebas menghirup udara.
Sementara penerima BLBI sendiri selama ini boleh dikatakan tidak tersentuh hukum. Kekuatan uang sogok merupakan faktor utama, sehingga mereka lolos dari lubang jarum hukum. Tentu, selain kekuatan lobi, seperti mengatakan, jika para konglomerat penerima BLBI ditangkap, kepercayaan investor asing ke Indonesia akan merosot. Terkadang, kalimat ini pun diterima begitu saja dan dijadikan sebagai pertimbangan untuk membuat penerima BLBI tidak bisa diapa-apakan. Padahal, seharusnya dibalik. Dengan penegakan hukum berupa penangkapan dan penahanan terhadap mereka, investor asing akan masuk, karena merasa ada kepastian hukum di Indonesia.
Penerima dana BLBI, antara lain Agus Anwar (Bank Pelita), Samadikun Hartono (Bank Modern), Kaharuddin Ongko (Bank Umum Nasional), Ulung Bursa (Bank Lautan Berlian), Atang Latief (Bank Indonesia Raya), Lidia Muchtar dan Omar Putihrai (Bank Tamara), Adisaputra Januardy dan James Januardy (Bank Namura Yasonta), Marimutu Sinivasan (Bank Putera Multikarsa), Santosa Sumali (Bank Metropolitan dan Bank Bahari), Fadel Muhammad (Bank Intan), Baringin M.H. Panggabean dan Joseph Januardy (Bank Namura Internusa), Trijono Gondokusumo (Bank Putera Surya Perkasa), Hengky Wijaya dan Tony Tanjung (Bank Tata), I Gde Dermawan dan Made Sudiarta (Bank Aken), Tarunojo Nusa dan David Nusa Wijaya (Bank Umum Servitia).
Bank Ficorinvest: Mantan Presdir Ficorinvest Supari Dhirdjoprawiro dan S. Soemeri divonis hukuman 1,5 tahun penjara oleh PN Jakarta Selatan 13 Agustus 2003. Saat ini, mereka masih bebas karena mengajukan kasasi.
Bank Umum Servitia: Dirut Servitia David Nusa Wijaya divonis 8 tahun penjara oleh MA 23 Juli 2003, sempat melarikan diri ke AS. Namun ia tertangkap di sana.
Bank Harapan Sentosa: Hendra Rahardja dihukum seumur hidup, namun melarikan diri ke Australia dan meninggal di sana. Eko Adi Putranto dan Sherly Konjogian, divonis 20 tahun, namun juga melarikan diri ke Australia.
Bank Surya: Bambang Sutrisno dan Adrian Kiki Ariawan, dihukum seumur hidup, namun melarikan diri ke Singapura. Bank Modern: Samadikun Hartono, divonis 4 tahun, melarikan diri. Bank Pelita: Agus Anwar, dalam proses pengadilan, namun sudah melarikan diri.
BDNI: Sjamsul Nursalim, penyidikan dihentikan. Bank Asia Pacific (Aspac): Hendrawan Haryono, mantan Wakil Dirut Aspac divonis 1 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Bank Indonesia Raya (Bank Bira): Atang Latif, melarikan diri ke Singapura sebelum kasusnya disidangkan.
Bisa dilihat, betapa tidak adilnya hukum. Rata-rata hukuman penjara bagi pengemplang dana rakyat dalam jumlah triliunan itu sangat rendah. Padahal, beban yang terus ditanggung untuk masalah BLBI ini sangat tinggi. Proses hukum yang dinilai masyarakat tidak adil ditambah dengan kebijakan pemerintah dalam penyelesaian BLBI ini semakin memakan banyak korban, terutama rakyat kecil.
Ada banyak skema penyelesaian yang dilakukan pemerintah. Yaitu melalui master settlement and acquisiton agreement (MSAA), master refinancing agreement (MRA) dan ditambah program penyelsaian kewajiban pemegang saham (PKPS). Namun, ternyata semua itu tidak menampakkan hasil sesuai yang diharapkan.
Tindakan penguasa/pemerintah yang cenderung membantu dan melindungi penerima BLBI menunjukkan bahwa komitmen memperjuangkan nasib rakyat kecil patut dipertanyakan. Andaikan separuh saja dari potensi kerugian negara tersebut sudah bisa dikembalikan, itu sangat bisa membantu mengurangi beban subsidi pemerintah akibat kenaikan harga BBM sekarang ini.
Seandainya separuh dana BLBI itu masuk kembali ke kas negara, itu sangat bisa menolong mengurangi subsidi PLN yang mencapai Rp 61 triliun. Atau seperti harapan rakyat, itu sangat bisa membantu meringankan biaya pendidikan yang sangat didamba-dambakan semua pihak. Mengapa untuk mencapai 20 persen APBN untuk pendidikan sesuai dengan keputusan Mahkamah Agung (MA) sangat sulit, sementara kalau untuk menyalurkan BLBI bagi segelintir orang begitu mudah dilakukan?
Sudah sepuluh tahun BLBI berjalan, tetapi penanganannya masih jalan di tempat. Sudah empat kali presiden berganti, tetapi proses BLBI lebih banyak bernuansa politik ketimbang hukum. Ini juga bisa dilihat, setiap kali ada pergantian Jaksa Agung, kasus BLBI selalu menjadi pernyataan menarik yang disampaikan lewat media, yang menyebutkan akan menuntaskan kasus tersebut.
Namun, semua itu sebuah harapan yang jauh panggang dari api. Jangankan pengusutan secara tuntas, atau membawa ke pengadilan. Yang keluar justru SP3. Sebuah surat sakti yang bisa membuat konglomerat hitam bisa berjalan-jalan sesukanya, baik di Indonesia apalagi ke luar negeri. BLBI, memang bantuan bagi konglomerat, tetapi sangat mengorbankan kepentingan rakyat Indonesia.
Kerusuhan Mei dan runtuhnya Soeharto menyebabkan BCA di-rush sehingga BCA memperoleh BLBI dalam tiga tahap, Mei-Juni dengan total Rp 35 triliun. Selama periode Juni-September 1998, BPPN mengusahakan penyelesaian BLBI melalui MSAA yang kemudian ditandatangani pada 21 September 1998. Kesepakatan akhir yang memuat release and discharge dicapai 9-10 bulan kemudian, yaitu Mei 1999 (dengan BDNI) dan Juni/Juli 1999 (dengan BCA).
Audit yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2000 terhadap penggunaan dana BLBI oleh ke-48 bank tersebut, menyimpulkan telah terjadi indikasi penyimpangan sebesar Rp 138 triliun. Suatu angka yang sangat besar, yang kalau bisa dikembalikan segera, diperkirakan bisa membantu mengatasi persoalan ekonomi Indonesia. Namun, apa yang terjadi? Hingga saat ini, dari potensi kerugian tersebut, pengembaliannya boleh dikatakan masih sangat minim, atau bahkan boleh dikatakan tidak ada jika dibandingkan dengan pengeluaran yang dilakukan pemerintah untuk mengejar para pelakunya.
Selain itu, meskipun pada akhirnya pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang mengambil-alih bank-bank bermasalah, namun penanganannya sangat lambat. Sehingga, kalau dihitung, total pengeluaran BLBI terhadap 164 bank bermasalah mencapai Rp 650 triliun termasuk bunganya, dengan potensi kerugian negara saat ini diperkirakan mencapai Rp 180 sampai Rp 200 triliun. Ini merupakan beban yang ditanggung rakyat melalui APBN, sementara penikmatnya adalah segelintir orang.
Kasus BLBI kembali mencuat, ketika KPK menangkap jaksa Untung dan Artalyta yang diduga melakukan suap untuk mengeluarkan SP3 BLBI Sjamsul Nursalim, pemilik BDNI. Sebelumnya, KPK pun menangkap petinggi BI, termasuk gubernurnya Burhanuddin Abdullah, karena diduga mengeluarkan dana Rp 100 miliar kepada para petinggi dan anggota DPR. Pengeluaran dana kepada petinggi BI itu disebutkan sebagai bantuan dana penyelesaian hukum.
Dana BLBI banyak diselewengkan oleh penerimanya. Sementara itu, yang memberikannya pun terindikasikan melakukan hal-hal yang bertentangan dengan layaknya proses pengeluaran sebuah kredit. Beberapa mantan Direktur BI telah menjadi terpidana kasus penyelewengan dana BLBI, antara lain Paul Sutopo Tjokronegoro, Hendro Budiyanto, dan Heru Supratomo. Mereka sempat mendekam di tahanan Kejaksaan Agung, yang sering kali disebut tahanan Gedung Bundar. Namun, permainan menyelesaikannya sedemikian tinggi, sehingga para pesakitan ini pun akhirnya bebas menghirup udara.
Sementara penerima BLBI sendiri selama ini boleh dikatakan tidak tersentuh hukum. Kekuatan uang sogok merupakan faktor utama, sehingga mereka lolos dari lubang jarum hukum. Tentu, selain kekuatan lobi, seperti mengatakan, jika para konglomerat penerima BLBI ditangkap, kepercayaan investor asing ke Indonesia akan merosot. Terkadang, kalimat ini pun diterima begitu saja dan dijadikan sebagai pertimbangan untuk membuat penerima BLBI tidak bisa diapa-apakan. Padahal, seharusnya dibalik. Dengan penegakan hukum berupa penangkapan dan penahanan terhadap mereka, investor asing akan masuk, karena merasa ada kepastian hukum di Indonesia.
Penerima dana BLBI, antara lain Agus Anwar (Bank Pelita), Samadikun Hartono (Bank Modern), Kaharuddin Ongko (Bank Umum Nasional), Ulung Bursa (Bank Lautan Berlian), Atang Latief (Bank Indonesia Raya), Lidia Muchtar dan Omar Putihrai (Bank Tamara), Adisaputra Januardy dan James Januardy (Bank Namura Yasonta), Marimutu Sinivasan (Bank Putera Multikarsa), Santosa Sumali (Bank Metropolitan dan Bank Bahari), Fadel Muhammad (Bank Intan), Baringin M.H. Panggabean dan Joseph Januardy (Bank Namura Internusa), Trijono Gondokusumo (Bank Putera Surya Perkasa), Hengky Wijaya dan Tony Tanjung (Bank Tata), I Gde Dermawan dan Made Sudiarta (Bank Aken), Tarunojo Nusa dan David Nusa Wijaya (Bank Umum Servitia).
Bank Ficorinvest: Mantan Presdir Ficorinvest Supari Dhirdjoprawiro dan S. Soemeri divonis hukuman 1,5 tahun penjara oleh PN Jakarta Selatan 13 Agustus 2003. Saat ini, mereka masih bebas karena mengajukan kasasi.
Bank Umum Servitia: Dirut Servitia David Nusa Wijaya divonis 8 tahun penjara oleh MA 23 Juli 2003, sempat melarikan diri ke AS. Namun ia tertangkap di sana.
Bank Harapan Sentosa: Hendra Rahardja dihukum seumur hidup, namun melarikan diri ke Australia dan meninggal di sana. Eko Adi Putranto dan Sherly Konjogian, divonis 20 tahun, namun juga melarikan diri ke Australia.
Bank Surya: Bambang Sutrisno dan Adrian Kiki Ariawan, dihukum seumur hidup, namun melarikan diri ke Singapura. Bank Modern: Samadikun Hartono, divonis 4 tahun, melarikan diri. Bank Pelita: Agus Anwar, dalam proses pengadilan, namun sudah melarikan diri.
BDNI: Sjamsul Nursalim, penyidikan dihentikan. Bank Asia Pacific (Aspac): Hendrawan Haryono, mantan Wakil Dirut Aspac divonis 1 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Bank Indonesia Raya (Bank Bira): Atang Latif, melarikan diri ke Singapura sebelum kasusnya disidangkan.
Bisa dilihat, betapa tidak adilnya hukum. Rata-rata hukuman penjara bagi pengemplang dana rakyat dalam jumlah triliunan itu sangat rendah. Padahal, beban yang terus ditanggung untuk masalah BLBI ini sangat tinggi. Proses hukum yang dinilai masyarakat tidak adil ditambah dengan kebijakan pemerintah dalam penyelesaian BLBI ini semakin memakan banyak korban, terutama rakyat kecil.
Ada banyak skema penyelesaian yang dilakukan pemerintah. Yaitu melalui master settlement and acquisiton agreement (MSAA), master refinancing agreement (MRA) dan ditambah program penyelsaian kewajiban pemegang saham (PKPS). Namun, ternyata semua itu tidak menampakkan hasil sesuai yang diharapkan.
Tindakan penguasa/pemerintah yang cenderung membantu dan melindungi penerima BLBI menunjukkan bahwa komitmen memperjuangkan nasib rakyat kecil patut dipertanyakan. Andaikan separuh saja dari potensi kerugian negara tersebut sudah bisa dikembalikan, itu sangat bisa membantu mengurangi beban subsidi pemerintah akibat kenaikan harga BBM sekarang ini.
Seandainya separuh dana BLBI itu masuk kembali ke kas negara, itu sangat bisa menolong mengurangi subsidi PLN yang mencapai Rp 61 triliun. Atau seperti harapan rakyat, itu sangat bisa membantu meringankan biaya pendidikan yang sangat didamba-dambakan semua pihak. Mengapa untuk mencapai 20 persen APBN untuk pendidikan sesuai dengan keputusan Mahkamah Agung (MA) sangat sulit, sementara kalau untuk menyalurkan BLBI bagi segelintir orang begitu mudah dilakukan?
Sudah sepuluh tahun BLBI berjalan, tetapi penanganannya masih jalan di tempat. Sudah empat kali presiden berganti, tetapi proses BLBI lebih banyak bernuansa politik ketimbang hukum. Ini juga bisa dilihat, setiap kali ada pergantian Jaksa Agung, kasus BLBI selalu menjadi pernyataan menarik yang disampaikan lewat media, yang menyebutkan akan menuntaskan kasus tersebut.
Namun, semua itu sebuah harapan yang jauh panggang dari api. Jangankan pengusutan secara tuntas, atau membawa ke pengadilan. Yang keluar justru SP3. Sebuah surat sakti yang bisa membuat konglomerat hitam bisa berjalan-jalan sesukanya, baik di Indonesia apalagi ke luar negeri. BLBI, memang bantuan bagi konglomerat, tetapi sangat mengorbankan kepentingan rakyat Indonesia.
(Pikiran Rakyat 2/9/2010)
sumber :
http://widyanurhayati.blogspot.com/2011/12/perkembangan-perbankan-di-indonesia.html
http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/A6011CBA-1B4E-49B1-9DDC-CB01AB6C60D0/19387/SejarahPerbankanPeriode19971999.pdf
http://infoblbi.com/konten.php?IDBERITA=1528
Oleh : Ryan Anugrah / 15209775/ 3EA14/ Universitas Gunadarma
Oleh : Ryan Anugrah / 15209775/ 3EA14/ Universitas Gunadarma
Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.
BalasHapusNama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.
Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.
Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.
Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut